UJUNG GENTENG: A HIDDEN PARADISE ON THE SOUTH COAST

06:03

Minggu, 4 Juli 2010

 Untuk menghindari macet di daerah Bogor (karena masih liburan sekolah), saya berangkat pagi hari, sekitar jam 06.00 WIB dari Depok. Melewati tol Bogor, jalanan masih lancar. Terjadi sedikit kemacetan di pasar Cicurug. Setelah itu lalu lintas cukup padat tetapi masih lancar. Di Cibadak kembali terkena macet walau tak separah kalau di siang hari.
Sampai Cibadak, saya memutuskan untuk lurus, melewati rute kedua (Jakarta – Ciawi – Cicurug – Cibadak – Sukabumi – Jampang Tengah – Jampang Kulon – Surade – Ujung Genteng). Menurut informasi yang saya dapatkan dari internet, rute ini hanya memerlukan waktu sekitar 7 jam, sedangkan rute pertama (Jakarta – Ciawi – Cicurug – Cibadak – Pelabuhan Ratu – Cikembar – Jampang Kulon – Surade – Ujung Genteng) menyita waktu 8,5 jam.
Kebun Teh di Jampang Tengah Ingin hemat waktu, namun kenyataannya jalur Sukabumi ini malah lebih lama karena saat itu sedang terjadi pengaspalan jalan di daerah Jampang Tengah. Jalan berlubang dan tumpukan material menghambat perjalanan. Rasa kesal karena buruknya jalan terobati dengan indahnya pemandangan di Jampang Tengah. Saya bisa menyaksikan perkebunan kopi di pinggir jalan. Juga melihat  pekerja kebun teh memetik daun serta pekerja pria memikul jerigen berisi obat-obatan untuk membunuh rerumputan di bawah pohon teh.  Jalanan tetap beerliku, serasa mengkuti reli. Si bontot sampai pusing. Si sulung yang biasa tegar, sempat protes melihat aksi ngebut di tikungan. “Di rem napa kalau belok,” ujarnya sewot.
 
Sekitar jam 01.00 siang, saya memasuki Surade, pintu masuk ke Ujung Genteng. Hawa laut sudah terasa. Deretan pohon kelapa di kiri dan kanan jalan menyambut kedatangan saya. 15 km sebelum pantai, birunya air laut sudah terlihat di sisi kiri jalan. Makin dekat, laut makin jelas, baik dari sisi kanan maupun kiri. Ujung Genteng adalah sebuah tanjung yang menjorok ke laut. Di antara deretan pohon kelapa, tampak ratusan sapi yang dibebas liarkan di areal itu. Menurut informasi, sapi itu tak dikandangkan. Masuk akal karena tak ada kandang di dekat situ. Makin dekat ke pantai, terdapat pintu gerbang untuk membeli tiket masuk. Berapa harganya, saya tak tahu karena saat itu pos dalam keadaan kosong. Mugkin petugasnya sedang menghadiri acara kawinan di samping pos. Setelah pos jaga, terlihat monumen peluru kendali serta gapura bertulisakan Satlatpur AU Atang Sendjaja.
 
Di ujuang jalan terdapat pertigaan. Saya mengambil jalur kiri karena beraspal. Ternyata itu menuju ke tempat pelelangan ikan. Pondok Hexa, tempat menginap saya, seharusnya belok ke arah kanan. Putar arah dan menuju jalan tanah penuh gelombang. Saya harus berhati-hati agar mobil tak mentok. Repotnya membawa sedan di jalanan seperti ini. Sampai hotel, saya langsung ke kamar. Ukurannya gede, 5 X 5 meter dengan tempat tidur extra large. Saya minta extra bed lagi, biar lega. Wong kamar segede itu tak ada kulkasnya. Hanya ada TV serta meja kecil. Pemanas air juga tak ada. Harganya sih cukup murah. Kamar ber AC, semalam hanya Rp 250.000. Karena sudah lapar, saya memesan nasi goreng special. Harganya murah kok (lupa karena yang bayarin istri he..heee).
 
Jam 03.00, anak-anak sudah tak sabar untuk melaut. Mandi dan bermain-main di pantai. Sayangnya, pantai di depan Hexa tak tersentuh ombak. Ombak berada sekitar 100 meter dari bibir pantai karena terhalang karang. Jika ingin diving atau main papan luncur, sebaiknya ke Cibuaya, sekitar 4 km dari Pondok Hexa. Di pantai ini juga terdapat pasir putih sehingga pemandangannya memukau saat sunset.
Saya menghabiskan waktu di pantai depan penginapan sampai jam 17.00. Lalu menuju ke sekitar pelelangan ikan untuk melihat aktifitas penduduk. Ada yang menjala ikan, menombak ikan, memancing, serta ibu-ibu yang berburu kerang. Saya sempat melihat para penombak ikan yang istirahat sambil makan ikan bakar hasil tangkapannya. Mereka berada di tanggul yang jebol karena abrasi. Menuju ke tanggul itu harus melewati karang-karang licin. Sempat juga bertemu ular laut berwarna hitam putih garis-garis.
Senja di Ujung Genteng
Habis magrib, saya keluar hotel untuk mencari makan. Menurut info karyawan hotel, sea food enak ada di restro Anugerah di ujung jalan. Saya mencoba mencari resto lain. Tak ada yang menggoda sehingga saya membelok ke Anugerah juga. Banyak menu yang tak ada karena saat itu ikan sedang susah. Akhirnya hanya pesan cumi goreng tepung plus cah kangkung. Rasanya sangat standar, malah lebih enak masakan istri saya. Udah gitu pakai lama pula masaknya.
19.30 sudah kembali ke hotel. Saya janji dengan ojek hotel untuk berangkat ke turtle park jam 20.00. Katanya jam 19.00 tadi sudah ada satu penyu yang membuat lubang untuk bertelor. Di perkirakan jam 21.00 penyu sudah bertelor. Saya harus naik ojek karena jalanan buruk. Tak bisa dilalui sedan. Ongkosnya Rp 40.000 untuk satu ojek. Saya khawatir si sulung, Dirga, mengantuk. Karena dia biasa tidur jam 09.00 malam. Si kecil, Inaya, lebih tahan melek. Kekhawatiran itu sirna. Keduanya masih bersemangat melihat penyu meski harus melewati kegelapan malam dengan jalanan yang aduhai.
 Memasuki Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan (Pangumbahan Turtle Park) saya diminta mengisi buku tamu dan membayar biaya Rp 5.000 per orang. Setelah itu petugas mengeluarkan ember plastik hitam berisi anak penyu yang baru berumur sehari. Anak-anak penyu yang baru menetas sore hari itu akan dilepasliarkan besok sore. “Setiap jam 05.00 sore ada pelepasan penyu ke laut,” ujar petugas Turtle Park.  Kemungkinan hidup anak penyu itu hanya dua persen. Sangat kecil sehingga layak dilindungi.
Menunggu bel berbunyi (tanda untuk melihat penyu bertelor), saya melihat penangkaran telor yang terletak persis di belakang pintu masuk. Telor dari satu induk dijadikan satu dan diberi tanda waktu lahirnya. Masa menetas sekitar 50 hari. Menjelang menetas, telor itu diberi kawat kassa agar anak-anak itu tak berlarian. Sayang, saat menyaksikan penangkaran hanya ditemani lampu senter sehingga hanya remang-remang.
Jam 21.15 bel berbunyi. Saya dan rombongan, sekitar 20 orang, masuk ke bibir pantai. Tak boleh menyalakan lampu, termasuk dari handphone. “Nanti mata bisa beradaptasi,” teriak guide. Benar, sesampai di pasir yang lembab dan dingin, mata saya bisa melihat mana jalanan dan mana tanaman. Sekitar 50 meter dari pintu masuk, seekor penyu berukuran panjang sekitar 1 meter dengan diameter 60 cm sedang bertelor di bawah pohon. Saya tak boleh menyalakan blitz ke arah laut. Pemotretan harus mengarah ke daratan agar cahaya tak kena laut. Penyu sangat sensitif. Bisa mlihat cahaya dari jarak 25 meter. Jika melihat cahaya, penyu yang mau bertelor ke daratan bisa balik lagi ke laut dan mengurungkan niatnya.
Seekor penyu bisa bertelor sekitar 100 butir. Masa bertelor dua bulan. Mereka akan balik ke lubang yang sama dalam 12 hari sehingga lubang tak mengalami perubahan. Telor sebesar bola pingpong itu dimasukkan ke dalam lubang buatannya, lalu ditutup setelah selesai bertelor. Untuk menutup lobang bisa membutuhkan waktu 1 jam sendiri. Penyu baru beranjak pergi setelah yakin kalau telor-telornya dalam kondisi aman. Setelah bertelor penyu akan menghilang selama dua tahun. Penyu yang saya lihat tadi, menurut guide dari Amanda Ratu Hotel, masih muda. Penyu baru berpacaran pada usia 40 tahun. Umurnya bisa mencapai 200 tahun. Jam 22.00 penyu belum juga berjalan ke arah pantai. Saya memutuskan untuk balik ke hotel, menyimpan tenaga untuk esok hari.
Senin, 5 Juli 2010
 Jam 05.00 saya bangun. Cuci muka, gosok gigi lalu mengambil air wudhu. Pagi buta saya menuju ke tempat pelelangan ikan. Sepi.Belum ada kapal nelayan yang merapat. Setengah jam menunggu, masuklah beberapa kapal kecil. Nelayan menururnkan ikan hasil tangkapannya. Tak banyak karena sedang susah mendapatkan ikan. Kapal dengan empat nelayan hanya membawa pulang dua ikan pari dan satu ikan besar (entah apa namanya) serta beberapa ikan kecil. Sepertinya tak sebanding dengan ongkos produksi saat melaut. Ikan-ikan itu ditimbang ke juragan yang menampung hasil mereka. Di tempat pelelangan juga sepi. Saya tak jadi membeli ikan satu pun.
Mobil menuju je arah Surade mencari sarapan. Tak ada restoran atau warung yang cocok. Di tengah jalan ada ibu-ibu penjual nasi uduk. “Masak kesini cuma makan nasi uduk,” ujar si kecil Inaya sambil sewot. Akhirnya hanya beli gorengan dan balik ke hotel. Mau pesan makan, sudah ilfil. Ujung-ujungnya hanya sarapan dengan roti tawar isi meses plus gorengan.
Jam 08.00 menuju ke pantai.  Mencari ikan-ikan kecil di balik karang. Ingin membeli jaring kecil (saringan ikan) tak ada warung yang menjualnya. Saya membuat saringan dari gelas air mineral yang saya lubangi di pinggir dan bawah gelas. Berhasil. Dengan alat itu, saya berhasil menangkap dua ikan kecil, yang akhirnya dilepas lagi menjelang pulang. Setelah makan siang di hotel dengan menu cah kangkung lagi plus udang dan cumi, saya check out dari Pondok Hexa. Jam  menunjukkan pukul 13.00.
 
Pulangnya, saya mengambil rute pertama dari Ujung Genteng – Surade – Jampang Kulon – Cikembar – Pelabuhan Ratu – Cibadak – Cicurug – Ciawi – Depok. Jalannya lebih bagus, meski tetap berkelok. Pemandangan hanya hutan belantara. Tak ada kebun teh seperti di Jampang Tengah. Sampai Pelabuhan Ratu sekitar jam 15.30. Mampir ke pelelangan ikan untuk membeli ikan kesukaan anak-anak. Setelah itu menuju ke pantai. Anak-anak minta turun ke pantai, bermain papan luncur. Kembali kami bermain air sampai menjelang magrib. Habis magrib meluncur ke Cibadak. Lancar. Mampir makan malam di Cikembar. Rute Cikembar – Cibadak juga lancar. Nah, dari Cibadak sampai ke tol Jagorawi terkena macet. Sampai rumah pukul 23.30. Istirahat. Bobo. Tak sempat bermimpi karena terlampau capai.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images