Sulap Ayah Chintya

06:11



Di sekolah Chintia bercerita pada teman-temanya tentang ayahnya yang pandai menyulap. Saking pintarnya menyusun cerita, teman sekolahnya sampai mengangumi ayah Chintia. Mereka ingin memiliki ayah yang pandai menyulap apapun yang diinginkan anaknya.

“Nih, coklat dari ayah Chintia. Disulapin nih,” ujar Chintia pada Cintha, teman sekelasnya. “Makanya, punya ayah seperti aku dong,” lanjut Chintia bangga. Cintha, yang kebetulan diantar ke sekolah oleh mamanya, langsung merengek untuk disulapkan coklat dan es krim.

“Ma, sulapin es krim dan coklat dong,” kata Cintha.

“Mama enggak bisa sayang. Nanti pulang sekolah mama beliin di toko dekat rumah,” kata sang ibu.

“Nggak mau. Cintha maunya disulapin kayak Chintia.” Sambil berkata demikian, meledaklah tangis Cintha.

Bukan hanya Cintha yang mengharapkan memiliki ayah atau ibu yang pandai menyulap. Rama, Tabitha, Riko, Lia, Anisa dan teman-teman yang lain juga punya harapan yang sama. Siapa yang enggak senang punya ayah yang bisa memberikan apa yang menjadi keingchintian kita?

Tiap hari Chintia terus membanggakan kepandaian ayahnya menyulap. Cerita Chintia kadang membuat teman-temannya jengkel dan iri. Namun mereka tidak bisa bebuat apa-apa. Mereka hanya menjadi pendengar, yang ujung-ujungnya menambah decak kagum mereka pada ayah Chintia.

Musim libur tiba. Semua siswa mempunyai acara liburan sendiri-sendiri. “Aku mau pulang kampung sama ayah,” kata Chintia pada Tabitha. “Kalau aku sih hanya ke Ancol. Habisnya aku enggak punya kampung,” ujar Tabitha dengan nada kecewa.

Malam hari menjelang keberangkatan ke Solo, Chintia tidak bisa tidur. Ia sudah menyusun daftar makanan yang akan dia minta pada ayah. Ada wafer, coklat, susu, dan bermacam-macam roti. “Nanti biar disulapin ayah,” ujarnya dalam hati.

Chintia girang ketika tiba-tiba ibu membangunkan tidurnya, lalu menyuruhnya untuk mandi. Mereka akan berangkat ke Solo. Chintia duduk di bangku belakang, bareng dengan ibu dan Fahri, kakaknya. “Cepet dong nyetirnya biar cepet sampai eyang,” kata Chintia pada Pak Maman, sopirnya.

Baru dua jam perjalanan, Chintia sudah tak betah duduk di mobil. Dia mulai mencari tas kesayangannya. Mengambil susu dan meminumnya hingga habis. “Wah makan coklat enak nih,” katanya sambil membuka tas lagi.

Namun wajah Chintia murung. Dia tak menemukan coklat kegemarannya. Yang ada di dalam tas hanya donat, wafer dan permen. “Ibu lupa membawanya, sayang,” ujar ibu. “Makan yang lain aja. Ada permen tuh,” sela Fahri. Chintia bergeming. Wajahnya tetap muram. Yang diinginkan hanya coklat.

“Aku punya ide,” teriak Chintia. Wajahnya ceria. Senyumnya meledak. “Bagaimana kalau ayah saja yang menyulap coklat,” katanya mantap. Chintia yakin ayah bisa memenuhui permintaan itu karena di rumah ayah bisa menyulap permen, wafer dan coklat.

Ibu dan Fahri saling berpandangan, lalu ibu tersenyum getir. “Nanti saja sayang makan coklatnya. Nanti ibu beliin,” bujuk ibu. Ibu tahu ayah tidak bisa memberikan coklat yang diinginkan Chintia karena mereka tidak memiliki colkat sebagai bahan untuk menyulap.

“Enggak mau. Ayah sulapin coklat sekarang!” Chintia terus merengek dan memegangi lengan ayahnya yang duduk di samping sopir. “Sayang, di jalan enggak boleh menyulap. Berbahaya,” kata ayah. “Kan yang nyetir Pak Maman,” sergah Chintia.

Ayah mulai kebingungan. Alasan yang tidak masuk akan pasti akan ditolak oleh Chintia karena gadis kecil itu cerdas. Ibu pun kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan pada Chintia bahwa sulap yang dipraktekkan ayah di rumah hanyalah permachintian kecepatan saja. Semua makanan yang akan disulap dan diberikan kepada Chintia sudah tersedia. Tinggal bagaimana ayah mengambil coklat dari kantong baju dan menyulapnya.

Di tengah keheningan, Fahri berkata, “Ayah tuh kalau menyulap bohongan. Coklatnya sudah dipegang di tangan, terus dikasih ke kamu. Sekarang enggak punya coklat. Jadi enggak bisa nyulap.”

Chintia terdiam. Gadis periang itu menunduk. Lesu. Keterangan kakaknya bagai petir di siang bolong. “Enggak mungkin ayah bohong. Ayah bisa menyulap,” sergah Chintia seakan tak percaya dengan penjelasan kakak semata wayangnya. “Ayah tidak berbohong kan?” kata Chintia sambil memegang lengan ayahnya.

Ayah diam. Matanya menatap deretan mobil yang ada di depannya. Lidahnya terasa kaku untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia tak tega melihat keceriaan gadis kecilnya berubah menjadi sebuah kemurungan. Otaknya berpikir keras untuk menemukan kata yang tepat, yang bisa menjelaskan namun tidak menyakitkan.

“Sayang, semua tukang sulap tidak bisa mengadakan yang tidak ada. Kalau mereka bisa menyulap duit, itu karena mereka sudah punya uangnya. Uang itu disimpan di tempat tersembunyi, lalu diambil dengan cepat saat penonton tidak melihatnya,” kata ibu panjang lebar.

“Jadi ayah juga seperti itu. Tidak bisa menyulap coklat kalau kita tidak punya coklat?” tanya Chintia. Ibu mengangguk pelan. “Pak Maman nanti berhenti di tempat peristirahatan. Ibu mau beli coklat dulu,” kata Ibu pada Pak Maman.

Saat istirahat, ibu membeli coklat kegemaran Chintia. Meski sudah menggenggam coklat, mata Chintia masih berkaca-kaca. Dia malu pada teman-teman sekolahnya yang menganggap ayah Chintia sebagai ahli sulap yang bisa memberikan apapun yang diinginkan.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images